Advertisement

Pasang Iklan Disini
KriminalLampungLamtimLive NewsPolisi

M. Umar dan Dugaan Kriminalisasi di Lampung Timur: Keadilan yang Terpasung, Pengadilan HAM Jadi Tujuan

Admin
Selasa, 10 Juni 2025, Juni 10, 2025 WAT
Last Updated 2025-06-13T17:55:37Z
Advertisement

Lampung, WARNUS - Di balik tembok dingin Rutan Sukadana, seorang pria bernama M. Umar menanti titik terang dari kasus yang menjeratnya. Bukan hanya tentang vonis, tapi soal pembuktian bahwa ia adalah korban dari proses hukum yang diduga cacat sejak awal. Kasus ini kini membetot perhatian publik, dengan dugaan kuat bahwa M. Umar adalah korban salah tangkap dalam proses penyelidikan dan penyidikan oleh aparat Polres Lampung Timur.

Kasus ini menyeret perhatian berbagai kalangan, termasuk organisasi jurnalis dan aktivis hukum. Ketua Sekretariat Bersama Wartawan Indonesia (SWI) Provinsi Lampung, Melanni, yang mengikuti langsung jalannya persidangan, menyoroti sederet kejanggalan yang menurutnya menjadi bukti bahwa proses hukum terhadap M. Umar penuh kecacatan.

“Kami mencermati adanya 12 penyidik dari Polres Lampung Timur yang patut diduga melanggar prosedur hukum dalam penanganan perkara ini. Bukti-bukti yang ada sebenarnya tidak layak melanjutkan perkara ke pengadilan,” ujar Melanni dalam pernyataan tegasnya.

Ia menambahkan bahwa kekeliruan tak hanya terjadi pada kepolisian, tetapi juga dalam proses penuntutan. Penolakan eksepsi dari pihak kuasa hukum oleh pengadilan, yang diduga dipicu oleh kurang telitinya pihak kejaksaan dalam menelaah berkas P-21, memunculkan dugaan adanya pembiaran terhadap proses hukum yang cacat secara formil dan materiil.

Melanni menegaskan bahwa pihaknya akan membentuk dua tim: satu tim khusus pemberitaan yang akan mengawal informasi kasus ini melalui media, dan satu tim investigasi untuk mendalami lebih lanjut siapa saja yang terlibat dan bertanggung jawab.

Sementara itu, kuasa hukum M. Umar yang dipimpin oleh Moch. Ansory, tak tinggal diam. Ia menyatakan pihaknya siap membawa kasus ini ke level yang lebih tinggi, yakni melalui jalur Pengadilan Hak Asasi Manusia (HAM) di Jakarta, mengacu pada Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000.

“Ini bukan sekadar pembelaan untuk klien kami, tapi upaya menuntut pertanggungjawaban negara atas potensi pelanggaran HAM. Proses hukum yang salah harus diluruskan, dan pelakunya tidak boleh dibiarkan lolos,” ujar Ansory, yang juga menjabat sebagai Ketua Umum YAPERMA (Yayasan Amanat Perjuangan Rakyat Malang).

Ia menyoroti kejanggalan mendasar dalam identitas hukum kliennya. Dalam surat dakwaan, nama terdakwa disebut sebagai Muhammad Umar bin Abu Tholib, padahal identitas resmi kliennya hanyalah M. Umar Perbedaan ini, menurut Ansory, sangat krusial dan dapat membatalkan dakwaan dari aspek hukum.

Hak Asasi dan Kesalahan Prosedural

Indonesia memiliki perangkat hukum yang secara tegas menjamin hak warga negara terhadap perlindungan hukum. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM dan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM menjadi fondasi bagi korban salah tangkap atau salah dakwa untuk menuntut ganti rugi dan rehabilitasi.

Pasal 9 UU No. 39/1999 dengan jelas menyatakan bahwa seseorang yang ditangkap atau diadili tanpa alasan sah atau karena kesalahan penerapan hukum, berhak mendapatkan pemulihan. Lebih jauh, pejabat yang secara sadar melanggar ketentuan ini bisa dikenai sanksi pidana.

Namun dalam kenyataan, pelaksanaan hukum sering kali berjalan timpang. Kasus M. Umar menunjukkan bagaimana sistem dapat salah sasaran dan menjerat orang yang mungkin tidak bersalah, hanya karena kelalaian atau penyalahgunaan wewenang.

Apa yang menimpa M. Umar bukan hanya menjadi catatan kelam bagi sistem peradilan, tetapi juga sebuah ujian besar bagi integritas lembaga hukum. Bila proses ini dibiarkan berlarut tanpa pembenahan, maka tidak hanya satu orang yang dirugikan—melainkan kredibilitas hukum Indonesia itu sendiri.

Perjuangan M. Umar adalah pertarungan untuk membuktikan bahwa hukum bisa ditegakkan tanpa kompromi. Bahwa keadilan bukan hak istimewa segelintir orang, melainkan hak semua warga negara—termasuk mereka yang kini terpasung dalam sunyi menanti pengakuan atas kebenaran.

Redaksi

TrendingMore