
Aktivitas penambangan emas tanpa izin (PETI) di Kabupaten Sanggau kini kembali hidup, bahkan lebih berani dari sebelumnya. Kawasan Desa Sungai Batu, Mapai, hingga Semerangkai kini menjadi pusat operasi tambang ilegal. Mesin berdentum tanpa henti, seolah menertawakan janji-janji pemberantasan PETI yang berulang kali diucapkan aparat.
Padahal, Kapolda Kalimantan Barat pernah menyatakan “tidak ada kompromi” terhadap PETI. Namun realitas di lapangan justru menunjukkan hal sebaliknya. Di balik riuhnya sungai, terselip dugaan kuat adanya praktik “setoran” kepada oknum aparat agar lanting-lanting itu bisa beroperasi tanpa gangguan. Informasi yang beredar di masyarakat menyebut, setiap unit lanting diduga menyetor hingga Rp7 juta per minggu.
“Masyarakat sudah muak. Sungai rusak, ikan mati, tapi pelaku tambang tetap bebas. Aparat baru bergerak kalau sudah viral,” tegas IW, pemerhati lingkungan lokal. Ia menyebut penegakan hukum di Sanggau telah gagal total melindungi kepentingan rakyat dan lingkungan.
Sungai Kapuas Kini Jadi Kolam Racun
Sungai Kapuas — nadi kehidupan Kalimantan Barat — kini berubah warna. Airnya keruh kecokelatan, bau logam menusuk, dan permukaan sungai tertutup lapisan minyak serta endapan lumpur. Aktivitas PETI telah mengubah ekosistem sungai yang dulu menjadi sumber air, ikan, dan kehidupan bagi ribuan keluarga di sepanjang bantaran.
Proses pengolahan emas dengan merkuri (air raksa) menjadi ancaman nyata bagi kesehatan manusia. Racun logam berat itu mencemari ikan dan air, meresap ke dalam rantai makanan, dan berpotensi menyebabkan gangguan saraf, cacat lahir, bahkan kematian.
“Sekarang anak-anak kami tak bisa mandi di sungai lagi. Airnya gatal, ikan sulit ditemukan,” kata An, warga Desa Mapai. Ia mengaku, hasil tangkapannya sebagai nelayan kini tinggal sepertiga dibanding dua tahun lalu.
Selain pencemaran, PETI juga menyebabkan pendangkalan sungai, erosi tebing, dan hilangnya habitat biota air. Dalam jangka panjang, kerusakan ini bisa memperparah banjir dan mengancam jalur transportasi air yang vital di wilayah Sanggau.
Hukum Tumpul ke Atas, Tajam ke Bawah
Secara hukum, aktivitas PETI melanggar Pasal 158 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Minerba, yang mengancam pelaku tambang tanpa izin dengan pidana penjara hingga 5 tahun dan denda maksimal Rp100 miliar.
Pencemaran akibat merkuri juga jelas melanggar Pasal 98 dan 99 UU Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, dengan ancaman 10 tahun penjara dan denda Rp10 miliar.
Bila benar ada praktik setoran kepada oknum aparat, maka hal itu termasuk pelanggaran berat Pasal 12 huruf e UU Tipikor Nomor 31 Tahun 1999, yang mengatur penerimaan suap oleh pejabat publik dengan ancaman hukuman hingga 20 tahun penjara.
Namun hingga berita ini ditulis, belum ada penyelidikan terbuka terhadap dugaan keterlibatan aparat. Tidak ada langkah tegas, tidak ada penyidikan transparan. Hukum tampak memilih diam — membiarkan Sungai Kapuas terus tercekik oleh kerakusan manusia.
Arah Baru Perlawanan Warga
Kemarahan warga mulai mendidih. Di media sosial, seruan agar masyarakat turun tangan seperti kasus PETI di Penyelimau mulai bermunculan. Di sana, warga nekat merazia sendiri lanting-lanting ilegal karena tak percaya lagi pada aparat. Langkah itu memang ekstrem, tapi menunjukkan satu hal penting: rakyat sudah muak dibohongi oleh janji kosong penegakan hukum.
“Kalau terus dibiarkan, rakyat bisa bergerak sendiri. Jangan tunggu Kapuas benar-benar mati baru semua pura-pura peduli,” ujar seorang tokoh adat yang enggan disebut namanya.
Warga Sanggau kini menuntut Polda Kalbar dan Mabes Polri turun langsung. Mereka menuntut dibentuk tim independen yang benar-benar bersih, untuk membongkar jaringan cukong, penambang, dan oknum aparat yang bermain di balik bisnis hitam ini.
Jangan Wariskan Sungai Mati pada Anak Cucu
Sungai Kapuas bukan sekadar bentangan air; ia adalah denyut kehidupan, tempat orang Kalimantan menggantungkan nasib dan harapan. Tapi kerakusan segelintir orang telah menjadikannya arena bisnis kotor tanpa hati nurani.
Jika pembiaran ini terus terjadi, maka yang akan kita wariskan kepada anak cucu bukan lagi sungai, melainkan kubangan racun yang mengalir di bawah bendera penegakan hukum yang lumpuh.
Saatnya negara hadir. Bukan dengan konferensi pers dan slogan kosong, tapi dengan tindakan nyata. Karena Sungai Kapuas sedang sekarat — dan bersama airnya, nurani kita pun perlahan ikut mati.(AZ)
Sumber:(Tim Investigasi WGR)
Posting Komentar
Minta Comentarnya