
Oleh: Mabroer MS – Aktivis NU & MUI
Jakarta,warta global. Id—Hari Santri Nasional yang diperingati setiap 22 Oktober sejatinya bukan sekadar seremoni, melainkan momentum refleksi atas peran besar pesantren dan para santri dalam perjalanan bangsa. Di balik kemerdekaan Republik Indonesia, tersimpan jejak perjuangan para kiai dan santri yang berkorban jiwa dan raga demi tegaknya negeri ini.
Sejarah mencatat, 22 Oktober 1945 menjadi tonggak lahirnya Resolusi Jihad, fatwa monumental dari Hadratussyaikh KH Hasyim Asy’ari yang menyerukan kewajiban jihad melawan penjajah. Fatwa ini menjadi pemantik semangat perjuangan rakyat yang berpuncak pada peristiwa 10 November 1945 di Surabaya. Dari pesantren pula lahir pasukan perjuangan seperti Laskar Sabilillah yang dipimpin KH Masykur dan Laskar Hizbullah, yang memainkan peran besar dalam melawan penjajah sebelum berdirinya TNI.
Bahkan, pada HUT TNI ke-72 tahun 2017, Jenderal (Purn) Gatot Nurmantyo mengakui jasa besar para pejuang santri itu. Ia memberikan penghargaan kepada KH Sholeh Qosim dari Laskar Sabilillah, Pesantren Baharuddin Al-Islam, Sidoarjo, sebagai simbol pengakuan resmi terhadap darah santri yang menetes di medan juang kemerdekaan.
Tradisi Uzlah: Pendidikan di Pinggiran, Jiwa yang Mandiri
Di masa penjajahan, pesantren memilih berdiri di daerah terpencil bukan karena terpinggirkan, tetapi sebagai bentuk perlawanan kultural. Para kiai ber-uzlah — menjauh dari hiruk pikuk kota — agar pendidikan di pesantren steril dari pengaruh Barat. Bahkan mengenakan celana dan dasi kala itu dianggap tabu karena dianggap meniru penjajah.
Gerakan “menyepi untuk memerdekakan” ini menjadi cermin kemandirian pesantren: mereka mendidik tanpa pamrih, membentuk karakter bangsa tanpa harus bergantung pada kekuasaan.
Laskar yang Terlupakan, Kiai yang Tak Tercatat
Sayangnya, sejarah resmi kemerdekaan jarang memberi ruang pada peran besar pesantren. Banyak laskar santri yang tak tercatat dalam buku-buku pelajaran, dan para kiai seolah menjadi tamu di rumah yang mereka bangun sendiri dengan darah dan air mata.
Ironisnya, dalam fase awal pembentukan TNI, pasukan santri seperti Hizbullah dan Sabilillah tidak dilibatkan. Inilah yang membuat jarak antara kalangan pesantren dan militer sempat membentang. Namun waktu membuktikan — sebagaimana diakui oleh Gatot Nurmantyo — bahwa kontribusi ulama dan santri merupakan bagian utuh dari kekuatan pertahanan bangsa.
Distorsi Sejarah dan Serangan Terhadap Wajah Pesantren
Kini, di era digital, pesantren kembali diuji. Bukan lagi oleh senjata penjajah, tapi oleh narasi yang menyesatkan. Minimnya literasi sejarah di kalangan milenial dan Gen Z membuat banyak dari mereka gagal memahami makna pesantren.
Sebagian publik dengan mudah menuding pesantren sebagai tempat kolot, bahkan ada yang sinis terhadap kiai hanya karena memiliki kendaraan bagus. Terbaru, salah satu stasiun televisi nasional, Trans7, menayangkan program yang dianggap menistakan dunia pesantren. Tayangan tersebut memicu gelombang protes dari kalangan santri di seluruh Indonesia, karena dianggap melecehkan simbol perjuangan dan martabat lembaga pendidikan Islam tertua di nusantara itu.
Pesantren: Pondasi Karakter Bangsa, Bukan Industri Pendidikan
Pesantren tidak hanya berjasa dalam perjuangan kemerdekaan, tetapi juga meletakkan dasar pendidikan karakter bangsa. Sistem boarding school modern yang kini banyak diadopsi lembaga pendidikan elit sebenarnya berakar dari model pendidikan pesantren, dengan filosofi utama bahwa akhlak berada di atas ilmu.
Namun, perbedaannya mencolok. Jika boarding school identik dengan fasilitas mewah dan biaya tinggi, pesantren justru dikenal sederhana dan terbuka bagi siapa saja. Banyak pesantren salaf yang menampung santri miskin tanpa pungutan biaya sepeser pun. Biaya makan, tempat tinggal, hingga kitab, semuanya ditanggung pengasuh pesantren.
Tak sedikit kiai hidup dengan kesederhanaan luar biasa. Mereka menolak menggunakan uang amplop sumbangan pribadi, dan memilih mencari nafkah dari usaha kecil seperti bertani atau berdagang. KH Maimun Zubair dan KH Faqih Langitan dikenal sebagai contoh kiai zuhud yang menolak hidup dari dana umat.
Pesantren di Persimpangan: Antara Pengakuan dan Penghinaan
Ironi terbesar adalah ketika negara justru mempersoalkan bantuan pembangunan pesantren seperti yang terjadi di Pesantren Al Khoziny Sidoarjo, sementara dana reses anggota DPR mencapai Rp702 juta per orang, dengan total lebih dari Rp407 miliar setiap tahun.
Pertanyaannya, berapa persen dari anggaran pendidikan 20% APBN yang benar-benar menyentuh dunia pesantren? Dari lebih dari 42 ribu pesantren di Indonesia, berapa yang benar-benar mendapat perhatian negara?
Kesan bahwa pesantren hanyalah “WNI kelas dua” makin kuat ketika lembaga penyiaran nasional ikut menayangkan narasi yang merendahkan martabat pesantren. Padahal, pesantren-lah yang menjadi benteng moral, penjaga akhlak, dan pengawal ideologi kebangsaan sejak Indonesia belum merdeka.
Pesan Akhir: Jangan Koyak Martabat Pesantren
Dunia pesantren bukanlah dunia yang asing, bukan pula tempat keterbelakangan. Di sanalah akar keilmuan, kesederhanaan, dan keikhlasan tumbuh subur. Mengoyak pesantren berarti mengoyak sebagian dari sejarah bangsa itu sendiri.
Hari Santri seharusnya menjadi momen introspeksi nasional. Bahwa tanpa pesantren, tak akan ada resolusi jihad; tanpa santri, mungkin merah putih tak akan berkibar seperti hari ini.
“Menghina pesantren sama saja dengan melukai ruh kemerdekaan Indonesia.”
Posting Komentar
Minta Comentarnya