PETI Jackpot di Kapuas”: Tambang Emas Ilegal Menggila, Nelayan Menjerit, Oknum APH Diduga Jadi Tumbal Setoran

Penampakan Lanting Jek di Tepian Sungai Kapuas Sanggau Kian Mengamcam

WARTANUSANTARA.INFO,Kalbar,Sanggau – Suara mesin “jek” kini bukan lagi sekadar raungan logam, tapi menjadi nyanyian kematian bagi Sungai Kapuas dan kehidupan di sekitarnya. Tambang emas ilegal, yang populer disebut “PETI Sanggau Jackpot”, kini menjelma jadi tambang untung bagi mafia, namun bencana sunyi bagi rakyat kecil — terutama para nelayan sungai yang kehilangan penghidupan akibat pencemaran dan kerusakan ekosistem.

Lautan rakit tambang tanpa izin kini menghiasi sungai yang dulu jernih. Sungai Kapuas yang menjadi nadi kehidupan, kini berubah menjadi lahan eksploitasi liar yang dijalankan tanpa moral, tanpa izin, dan — diduga — dengan restu oknum berseragam.

“Ini bukan tambang biasa, ini ladang emas untuk mafia. Satu malam bisa panen belasan gram. Tapi air jadi keruh, ikan mati, jaring kami kosong,” keluh Tono (bukan nama sebenarnya), nelayan di hilir Kapuas.


🧨 Jackpot untuk Mafia, Neraka untuk Rakyat

Istilah “PETI Jackpot” kini jadi sindiran pahit masyarakat: karena para pelaku tambang mendapat keuntungan besar tanpa resiko, seolah-olah mereka kebal hukum. Semua berjalan rapi. Ada pemodal, operator, penyedia BBM bersubsidi, hingga pelindung dari kalangan aparat.

Dari investigasi lapangan, terungkap dugaan keterlibatan sejumlah nama:

ASP: Penampung hasil tambang, pemilik beberapa rakit tambang.

JN: Pengendali operasional mesin PETI di lapangan.

AWG: Penyedia solar bersubsidi yang semestinya untuk masyarakat kecil.

Dan oknum APH: Diduga menerima “setoran keamanan” agar aktivitas PETI tetap aman.


“Kalau nggak ada restu dari oknum, mana mungkin rakit bisa jalan siang malam tanpa gangguan,” ungkap warga lain yang kerap melihat aktivitas PETI di malam hari.

🌊 Nelayan Sungai: Dari Penjaga Alam Menjadi Korban

Dampak paling terasa dirasakan para nelayan tradisional. Dahulu, hasil tangkapan bisa mencukupi kebutuhan keluarga. Kini, air sungai keruh berlumpur, ikan sulit didapat, dan pencemaran merkuri mengancam kesehatan.

Kerugian tak main-main:

Penurunan hasil tangkapan ikan hingga 70%.

Pendapatan nelayan turun dari Rp300.000/hari menjadi Rp50.000/hari — bahkan sering nihil.

Biota air seperti udang, ikan seluang, dan patin mulai langka.

Pencemaran merkuri diduga berdampak pada kesehatan anak-anak dan ibu hamil.


“Kami dijanjikan pembangunan, tapi yang kami terima racun di sungai,” kata seorang ibu nelayan sambil menunjukkan air sungai yang berwarna cokelat pekat.

⚖️ Hukum Cuma Pajangan?

Beberapa undang-undang yang terang-terangan dilanggar, antara lain:

1. UU No. 32 Tahun 2009 (Lingkungan Hidup) – Pidana 3–10 tahun & denda hingga Rp10 miliar.


2. UU No. 3 Tahun 2020 (Minerba) – Pidana hingga 5 tahun & denda Rp100 miliar.


3. UU No. 22 Tahun 2001 (Migas) – Penyalahgunaan BBM Subsidi: Pidana hingga 6 tahun & denda Rp60 miliar.

4. UU No. 31 Tahun 1999 (Korupsi) – Gratifikasi ke oknum APH bisa kena pidana seumur hidup.

Namun ironisnya, hingga kini belum ada satu pun penegakan tegas yang menyentuh aktor utama di balik tambang emas ilegal ini.

🚨 Saatnya Rakyat Bertanya: APH Melindungi Hukum atau Melindungi Mafia?

Di tengah deru mesin tambang, publik bertanya: Di mana aparat? Di mana pemerintah? Apakah diam karena tak tahu, atau diam karena “sudah kenyang”?

Jika benar ada oknum yang bermain mata dengan mafia PETI, maka mereka bukan hanya menghancurkan hukum — tapi ikut membunuh masa depan anak cucu Sanggau.

“Ini bukan cuma pembiaran. Ini indikasi persekongkolan. Dan ini kejahatan sistemik,” tegas seorang aktivis lingkungan yang terus memperjuangkan penyelamatan Kapuas.


🛑 Penutup: Antara Nyali dan Niat

PETI Sanggau Jackpot adalah potret kelam negeri yang hukumya tumpul ke atas. Kini publik menanti: Apakah aparat masih punya nyali? Atau justru menjadi bagian dari tambang emas kotor ini?

Kapuas menangis, nelayan menjerit, mafia bersorak. Dan hukum? Diam membatu.[AZ]

Post a Comment

Minta Comentarnya

Lebih baru Lebih lama